Jumat, 22 Januari 2010

impian sederhana

tanpa saya sadari, berbincang dengan kawan bisa membangkitkan mimpi yang, tanpa sadar pula, terkubur perlahan seiring dengan berjalannya waktu, berputarnya roda hidup, dan berubah-ubahnya arah kemudi hidup saya. setiap orang punya mimpi, begitu pula saya. kadang terbit malu dalam hati saya saat harus berbagi mimpi dengan orang lain, karena otak reptil saya berkata bahwa saya bermimpi terlalu hebat, jatuh-jatuhnya malah jadi berkhayal. ya, kadang saya sendiri belum bisa dengan babar blas menjelaskan apa perbedaan mimpi dan khayalan...

tapi sore ini saya ingat lagi mimpi 'kecil' itu, beberapa saat setelah bertukar cerita dengan seorang kawan yang sedang merintis bisnis di kota hujan ini.

ternyata baru saya sadari, mimpi itu perlahan memudar, terganti dengan cita-cita besar saya menjadi seorang ilmuwan oseanografi biologi.

mimpi tentang sebuah kedai kopi mungil di tepi jalan.


kecil saja, dengan kanopi di atas pintu, teras yang memuat empat meja bundar dan tiga kursi di setiap mejanya, bebungaan rimbun di pagar rendah di depan kedai, dan lonceng mungil yang berbunyi "ting-tong" setiap ada tamu masuk.

hanya ada menu kopi, pastry, dan buku. beberapa rak penuh buku koleksi pribadi sang pemilik (dalam ini tentunya saya) tidak hanya menjadi dekorasi, tapi juga referensi, bahan diskusi sekaligus kontemplasi para pelanggan.

dan musik jazz lembut.

saya tidak berbakat menjadi barista, tapi saya yakin suatu saat saya bisa mempekerjakan satu atau dua orang barista di kedai kopi saya itu. jika satu, maka dia harus perempuan, atau jika dua orang, maka mereka adalah pasangan suami istri.

saya tidak tahu persis kapan mimpi saya ini bisa terwujud. bagi saya, kedai kopi yang ada dalam mimpi itu bukanlah sebuah tempat dimana saya menggantungkan kebutuhan finansial hidup. kedai kopi itu hanyalah sebuah rangkuman dari semua jejak yang pernah saya ukir, kerja keras yang telah saya upayakan, dan pencapaian demi pencapaian yang berhasil saya raih. karenanya, saya hanya bisa tahu bahwa jika kelak kedai kopi itu terwujud, maka berarti saat itulah saya mulai merasa cukup dengan apa yang saya peroleh. saat dimana saya bisa melihat bunga dan buah dari apa yang saya tanam. atau saya lebih suka menyingkatnya dengan saat dimana saya hanya tinggal menikmati.

saya tiba-tiba tersadar, TUHAN telah memberikan begitu banyak kelapangan bagi saya untuk tidak takut bermimpi...dan terus punya mimpi...



*gambar diambil tanpa permisi dari sini

**sekian juta terimakasih untuk welly, we do like coffee so much, don't we? one time i'd very pleased to invite you to my (our) own little coffee shop :)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

kamu seenak-enaknya aja bikin kedai kopi gak ajak2 saya?! wah wah.. jangan sampe stok kopi se indonesia saya beli dan saya close order buat kedaimu yah...?
mbok ya permisi dulu begituuu.. ato setidaknya ajak-ajak lah. Biar kata kopi buatan saya terkenal karena paitnya saja, setidaknya saya udah punya bakat alamiah untuk bermain di bidang kopi, mengingat warna kulit saya yang sepekat kopi. hahahaha
Kip driming sista, aym pripering may selef for det kofisop. oldough jas starting bay driming :D

heidi martosudirjo mengatakan...

nyahahahahaa, maap maap, soalnya kan aku pikir kamu bakal bikin pabrik mesin espresso-nya doang tanpa bikin kofisop beneran. baiklah dit, mulai hari ini namamu bakal aku tulis gede2 di proposal kofisop *yg entah mo diajuin ke siapa, pak eep mungkin??* aku pengen bikin kofisop-nya di subang, mangkanya aku bilang kofisop itu ada project 'terakhir' yg pengen aku eksekusi, setelah aku puas dengan pencapaian cita2ku. aku pikir masih banyak waktu buat mikirin desain dan konsepnya, tapi kalo emang bisa dimulai dari sekarang ya kenapa enggak? toh bisa dikerjain sementara lagi jongkok di WC *place of bulk of inspiration*, ya kan? hehehee....