Sabtu, 06 Juni 2009

post-marriage friendship

siapa bilang persahabatan itu priceless?? buktinya hari ini saya sukses tekor akibat kalap mentraktir sahabat-sahabat saya. tapi kalau ada yang bilang persahabatan itu mahal harganya, bakalan saya tolak juga pernyataan itu. karena kalau dipikir-pikir, uang yang saya keluarkan untuk mentraktir mereka tadi sama sekali gak bisa dibandingkan dengan kesenangan, tawa, dan kebahagiaan luar biasa yang saya dapatkan saat menghabiskan waktu bersama mereka. jatuhnya malah jadi murah banget. jadi kesimpulannya, berapa sih harga persahabatan itu? hehehehe…. sungguh topik yang gak penting untuk dibahas. sama gak pentingnya dengan orang yang mencetuskan hari persahabatan sedunia. buat saya tiap hari ya hari persahabatan, hari-hari dimana saya selalu merasa punya sahabat dan bisa “mengakses” mereka tanpa batas. lagian ngapain dipikirin, sahabatan mah ya sahabatan aja, gak perlu diitung-itung nilai ekonomisnya. kalau merasa rugi, tinggalin deh. habis perkara.

aaahhh…kenapa tiba-tiba ngomongin ini ya? padahal awalnya cuman mau say thanks buat sahabat saya paling juara se-jagat dunia, khususnya hari ini: haris rohim muharam. atas kebaikannya menemani saya roadshow kondangan di bandung, nyupirin mobil tanpa stuntman (nyetir mobil di bandung pas wikend tu sama aja nyari perkara, bikin encok!), sampai harus bersabar menahan lapar (baru makan siang jam 3 sore). aselinya gak tega liat dia nguap-nguap kecapekan pas perjalanan pulang, tapi apa daya saya gak bisa gantiin dia nyetir mobil karena emang saya gak bisa nyetir. tambahan lagi, dengan statusnya yang engaged, rasanya makin gimanaaaaa….gitu. meski tunangannya ada di kota lain, saya tetap terheran-heran dengan kecuekan dia yang masih mau jalan sama saya. kita emang udah temenan lama banget, dari kelas satu smp. dan diantara banyak sahabat saya yang lain, dia adalah salah satu yang bertahan tidak berubah sikap sedikitpun meski statusnya sendiri sudah berubah, bukan lagi “milik umum”, ya seperti saya ini, hehehehe…

well, jujur aja, hal-hal”sepele” semacam itu ternyata masuk juga ke pikiran saya. tentang hubungan pertemanan pasca berkeluarga. hadooooohhh…rasanya kok males ya membahas topik ini? seperti ada yang nyelekit di hati. kayak ada yang nyubit-nyubit kecil punggung tangan saya. pernah dicubit-cubit kecil? itu istilah saya untuk cubitan yang dilakukan dengan ujung jari atau kuku. meskipun yang dicubit juga cuman seujung kulit, tapi rasanya kan pedih-pedih nyelekit. ya begitulah rasanya bagi saya saat memikirkan “masa depan” suatu hubungan pertemanan pasca menikah/berkeluarga. nyelekiiiiiiittt….

adalah beberapa teman saya yang akhirnya memutuskan untuk menikahi sesama teman main. sesama teman ngumpul-ngumpul sejak sekolah menengah dulu. buat saya sih rada aneh, teman dekat kok bisa ya jadi pasangan suami istri? soalnya hal-hal seperti itu, meski pernah sempat terlintas di benak saya, saya berharap tidak akan mengalaminya sendiri. rasanya kok aneh aja kalau harus menikahi teman yang dengannya kita pernah saling ledek, saling hina, saling jambak, saling jitak, dan saling tau kejelekan masing-masing, tiba-tiba harus jadi teman tidur kita sehari-hari. gyaaaaaaaaaaahh…stop, stop! jangan diteruskan lagi ah, bergidik saya ngebayanginnya, heuheuheu… tapi tentunya saya juga gak mau bahas ini. terlalu relatif. setiap orang pasti punya persepsi dan definisi sendiri, sejauh mana sahabat bisa jadi pasangan hidup, dan sejauh mana hal itu tidak berlaku bagi mereka dan bagi saya. let’s skip this section.

adalah kemudian beberapa teman saya lainnya (dan yang ini jumlahnya mayoritas) yang menemukan pasangan hidupnya diluar teman main sehari-hari. ah ya, sebelum lebih jauh, saya batasi saja definisi “teman main sehari-hari”. karena bagi saya pribadi yang namanya teman main sehari-hari kebanyakan merujuk pada teman sma dan kuliah. bagi saya, dari dua lingkungan inilah saya paling banyak mendapatkan teman yang akhirnya saya nobatkan menjadi sahabat. lebih dari sekedar teman. nah, sebagian besar sahabat saya yang sudah menikah, menikah dengan orang yang tidak saya kenal sebelumnya, or at least, tidak terlalu saya kenal. jujur saya bahagiaaaaaaaa…banget setiap ada teman saya yang menikah, terutama jika bisa menyaksikan mereka berikrar pada saat akad nikah. rasanya lega dan bangga bisa mengiringi mereka memasuki babak baru kehidupan. Saya pernah sempat menangis di akad nikah salah seorang sahabat saking terharunya. tapi ternyata kemudian keharuan itu tidak lama bertahan. beberapa minggu atau bulan berselang, mulai muncul kangen. kangen karena komunikasi tidak berjalan se-intens dulu. ada yang pindah kota karena mengikuti pasangannya, sehingga kami (saya dan sahabat saya) tidak lagi bisa sering bertemu (komunikasi via telepon? yah, bagaimanapun gak akan ada yang bisa mengalahkan komunikasi tatap muka kan?). ada yang tetap tinggal di kota yang sama dengan saya, tapi tetap saja tidak se-available sebelumnya. gak bisa lagi leluasa hang-out bareng karena bagaimanapun mereka harus mempertimbangkan izin dan kepentingan keluarganya. fyyuuuhh...saat-saat inilah yang membuat saya kadang menyesal, kenapa gak saya aja sih yang nikah duluan, jadi kan bukan saya yang merasa “ditinggalkan” oleh mereka, tapi sebaliknya! hahahahahah.... cukup, cukup. lagi-lagi out of topic deh :D

yah, tapi memang seperti itulah adanya. ternyata rasa “kehilangan” itu nyata. dan saya tidak berdaya apa-apa dibuatnya. saya hanya bisa sadar, bahwa perubahan itu niscaya. kehidupan seseorang berjalan dan berubah untuk menemukan kesempurnaannya masing-masing. pada akhirnya pasti ada yang berubah. bahkan saya sendiri sudah merasakan hal-hal seperti ini jauh sebelum saya berpikir tentang kehidupan berkeluarga. hanya karena beberapa sahabat memutuskan untuk punya pacar (sedangkan saya memilih untuk tidak pacaran karena alasan pacaran = ribet), saya kemudian merasa terabaikan. waktu-waktu dimana normalnya kami main sama-sama perlahan dirampas oleh kepentingan lain yang seolah lebih penting: pacaran. dan sekarang semuanya seolah terulang lagi. bedanya, dulu saya masih bisa protes dengan cara ngambek saat mereka mengabaikan saya karena lebih mementingkan pacar. tapi kalau hari ini saya melakukan hal yang sama karena mereka lebih mementingkan suami/istri/keluarga mereka, jelas saya gak dewasa. toh suatu saat besar kemungkinan saya akan bersikap seperti mereka juga kan? it’s only a matter of time.

tapi saya kok yakin ya, meskipun saya nanti akhirnya menikah juga (amiiiin), saya pasti akan tetap merindukan masa-masa dimana hanya saya dan sahabat-sahabat saya. our precious time. saat dimana saya tidak akan merasa canggung tertawa bersama mereka, mengobral hal-hal gila dan memalukan, dan melepaskan semua status sosial seperti pangkat/jabatan, besaran penghasilan, karakter pasangan hidup, jumlah anak, dan tetekbengek keluarga lainnya. seperti hari ini. meskipun orang yang duduk di samping saya seharian tadi sudah hampir menjadi milik orang lain, tidak ada sedikitpun perubahan sikap yang saya rasakan dari dia. saya tidak merasa diabaikan meski beberapa kali dia menelepon tunangannya di sela perjalanan. saya juga tidak merasa canggung jalan bareng seseorang yang tidak se-available saya. itulah yang sebenarnya sangaaaaaaaaatt…saya harapkan terjadi pada hubungan saya dengan semua sahabat saya pasca sebuah pernikahan. tidak ada yang berubah meski hidup masing-masing dari kami sudah berubah.

tapi apa mungkin ya?

Tidak ada komentar: