Selasa, 04 Maret 2008

Belajar dari Ara


Belajar dari Ara. Belajar untuk setia kepada revolusi dan perjuangan pemuda. Ara mungkin bukan lagi pemuda sebenar-benarnya. Tapi gelegak hati saat mendengar kata “pemuda” yang terhubung dengan perjuangan dan revolusi, cukup membuktikan bahwa darah Ara selalu muda. Ara punya cara sendiri untuk berjuang. Meski orang bilang itu hina, nista, tak pantas, tapi Ara tetap setia. Ara bukan koruptor, Ara tidak pernah menggadaikan bangsanya. Ara sadar bahwa kebesaran bangsa ini bergantung pada harga diri manusianya. Biarlah diri Ara rusak, asal Ara tidak merusak perjuangan. Biarlah tubuh Ara terkotori, asal Ara tidak pernah mengotori revolusi. Belajar dari Ara adalah belajar untuk setia dan cinta tanah air. Sekali dua Ara pernah nyaris berputus asa. Saat takdir mengharuskannya jadi tawanan Jusman, saat takdir memisahkannya dengan Chaidir si penyair, dan saat Yogya akhirnya jatuh. Memang bukan Yogya yang sesungguhnya jatuh, melainkan keangkuhan dan pengkhianatan terhadap kesetiaan. Tapi Yogya toh jatuh juga. Dan Ara nyaris menyerah. Tapi belajar dari Ara adalah belajar tentang kesetiaan. Meski cinta Jusman begitu kuatnya (seiring nafsu yang juga tak kunjung melemah), Ara sadar bahwa perjuangan ini tak boleh dikotori. Ara tahu Jusman tulus padanya, meski sering ketulusan itu berbalut perlakuan kasar. Tapi Ara tetap bertahan. Jusman bukan di pihak revolusi. Jusman, si mata kuning itu, bagaimanapun dia yang membunuhi pemuda-pemuda Republikein. Pemuda-pemuda yang pada mereka harapan akan kemenangan revolusi bertumpu. Pemuda-pemuda itu mati muda. Tapi mereka meninggalkan banyak semangat hidup pada Ara. Ara tak mau mengecewakan perjuangan pemuda-pemuda setia itu. Revolusi memang telah merenggut banyak hal. Merenggut panggung kebesaran tempat Ara mengekspresikan gelora revolusi, merenggut pemuda-pemuda penonton setia Ara, merenggut makanan terakhir rakyat, hingga merenggut berat badan Ara sendiri, menjadikan Ara layu dan berkurang kemolekannya. Revolusi memang penyebab dari ini semua. Namun Ara yakin akan dating masa revolusi yang jadi pemenang. Seperti kata opsir muda itu, di malam ketika Ara ikut berjuang bersamanya, “perjuangan selamanya mengalami menang dan kalah, silih berganti, kalau kau menang, bersiaplah untuk kalah, dan kalau kau kalah, terima kekalahan itu dengan hati besar, dan rebutlah kemenangan”. Hingga pada akhirnya, hal inilah yang kembali menguatkan Ara di saat-saat jatuhnya. Dan hingga pada akhirnya pula, revolusi benar-benar jadi pemenang. Ara menang.


“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup, dengan berani. Kalau keberanian tidak ada, itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita”. –Pramoedya Ananta Toer-



A lesson learned from “Larasati”, written by Pramoedya Ananta Toer. First published in 1960 in Bintang Timur newspaper, last published by Lentera Dipantara, June 2007.


13 komentar:

Wicak yuhuuu mengatakan...

Hmm..hmm..bingung yas *ga bakat ama sastra*

heidi martosudirjo mengatakan...

baca aja sendiri bukunya, bagus kok, buat inspirasi cinta tanah air oke juga tuh...

Didik Sasongko mengatakan...

ini tulisan yas sendiri atau saduran ? *koq bagus*

Berlianto Nugroho mengatakan...

(@_@')

heidi martosudirjo mengatakan...

wahh...meragukan nih critanya? mangkanya, baca aja bukunya, baru ntar bisa tau persis apakah ini karangan yas atau kutipan dari buku itu, hehehe...


*ini tulisan yas sendiri tau mas, namanya juga lesson learned....*

heidi martosudirjo mengatakan...

apakahitumaksudnyawahaikawan???

Didik Sasongko mengatakan...

Sayangnya, saya sudah kadung kurang suka sama bukunya Pramoedya Ananta Toer. Katanya sih cenderung kekiri-kirian. Mendingan baca bukunya Habiburrahman El Shirazy, lebih MENGGUGAH NURANI

heidi martosudirjo mengatakan...

yaaah, itu mah kan balik lagi ke kitanya, bagaimana kita mempersepsikan buku yang kita baca agar tetap ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. melatih diri supaya gak picik mas, hehehe...bukunya Kang Abik yg AAC itu juga terlalu "ideal" dan "lurus" euy buat yas, masih mending Andrea Hirata, hihihih...piss ah...

Wicak yuhuuu mengatakan...

Mendingan hafalan shalat delisa..ama ketika mas gagah pegi..sepertiny novel untuk ku br 2 itu aja

Wicak yuhuuu mengatakan...

Mendingan hafalan shalat delisa..ama ketika mas gagah pegi..sepertiny novel untuk ku br 2 itu aja

heidi martosudirjo mengatakan...

yap...itu juga bagus...i thought everyone has his/her fav books, right? yang jelas semakin banyak baca, semakin terbuka wawasan dan cara berpikir kita...^_^

Wicak yuhuuu mengatakan...

Betul tante tyas..cuman saya teh bukan orang yg betahan baca buku..hiks.

Didik Sasongko mengatakan...

"Ketika Mas Gagah Pergi", ane punya udah bulukan. Sejak kapan taun Ummu Silmi udah punya.
Oya, beberapa bulan yang lalu, aku beli Edensor & Ketika Cinta Bertasbih 2. Habis baca Edensor, terus baca KCB2 jadi kayak biasa aja tuh. Mungkin segmentasi Kang Abik untuk rakyat biasa, yang awam tapi ingin belajar Islam lebih dalam.