Kamis, 10 Juli 2014

a silent wish

hati siapa yang tak teriris melihat foto bocah Palestina yang terbaring mengenaskan berlumuran darah? begitu pilu membayangkan saat Ramadhan yang biasanya disambut dengan sukacita oleh kita di Indonesia, namun menjadi tragedi mengerikan di negeri lain.

ah sudahlah, sulit merangkum apa yang saya rasakan sekarang. membayangkan sahur berlatar belakang suara ledakan bom dan pekat asap mesiu saja membuat saya gemetar.

Palestina, kapan tragedi ini akan benar-benar berakhir?

semalam, saat berada di motor dalam perjalana pulang ke rumah, kami (saya dan Baba) basah kuyup kehujanan. sementara Alanna meringkuk di tengah-tengah kami, dengan kaki dan tangan yang mulai terasa dingin terbasuh angin malam. pikiran saya melanglang ke Palestina. begitu ringannya apa yang saya rasakan saat itu, hanya kehujanan air. sementara mereka?

tetiba hati saya berbisik, mengucap sebuah harap yang hanya berani saya gantungkan pada Sang Khalik. sungguh bila membayangkannya, saya pun ragu, bisakah saya tegar?

bila saya dan Baba diberi keluasan umur untuk membesarkan Alanna, ingin rasanya saya melihat Alanna menjadi dokter. sebuah profesi yang dulu saya hindari hanya karena perkara sepele: ngeri melihat darah. saya membayangkan Alanna akan jadi dokter yang menjadi relawan di daerah konflik. terlalu muluk-kah? entah. saya hanya berani berdoa supaya Allah menguatkan hati saya. beragam pikiran berkecamuk di benak saya malam itu. getir, membayangkan bahwa yang bisa saya lakukan saat ini untuk rakyat Palestina hanya berdoa. namun sekaligus ada harap yang diam-diam tumbuh seiring tragedi ini. tentu saya ingin konflik di Palestina secepatnya berakhir. namun bila tiba saatnya Alanna dewasa dan konflik di Palestina belum juga usai, betapa ingin saya mendorongnya pergi ke sana. menjadi relawan.

duhai Rabb, ampuni jiwa-jiwa yang lemah ini. sungguh kami berlindung dari kerdilnya hati dan pikiran kami sendiri.

aamiin.

Tidak ada komentar: