Selasa, 08 Juli 2014

the final decision

demi memeriahkan pesta demokrasi yang begitu riuh, hari ini saya akan menulis tentang pilihan saya.

ya, saya sudah memutuskan. setidaknya memutuskan untuk tidak golput.

seperti yang pernah Ibu Naim tulis di status Facebooknya, ini negeri kita. kita sendiri yang tentukan nasibnya. berhubung belum banyak yang bisa saya lakukan untuk negara, maka setidaknya saya berpartisipasi dalam menentukan pemimpin bangsa. jika memang yang saya pilih nanti menjadi pemenang, berarti saya ikut andil dalam dinamika nasib bangsa lima tahun ke depan. namun bila pilihan saya kalah, saya akan tetap berlapang dada menerima siapapun pemimpin Indonesia tanpa banyak protes.


dan pilihan saya jatuh pada nomor satu.

alasannya? semata-mata mengikuti suara hati. sedari awal saya mengakui bahwa saya ini tipikal pemilih emosional. rasionalnya kepake sih, tapi sekedar supporting factor aja. saya merasa kandidat nomor satu lebih mampu. Bu Naim 'bilang', bila memilih dengan alasan "yang penting bukan kandidat lawan yang menang", itu artinya pilihan kita didasarkan pada kebencian. kalo dipikir-pikir semakiiin dalam, gampang aja sih saya menemukan alasan untuk membenci kandidat lawan, tapi lalu buat apa?

my respect goes to Ibu Sidrotun Naim yang sudah banyak 'memprovokasi' saya dengan cara yang tidak biasa. di saat linimasa medsos bertebaran dengan berita-berita positif maupun negatif dari sumber yang sumir, beliau menuliskan opini berdasarkan pengalaman pribadinya bersentuhan dengan sejarah. buku adalah muaranya, sumber yang lebih kuat dari sekedar artikel media, sehingga dengan mudahnya saya percaya pada kata-kata beliau. dilengkapi dengan latar belakang seorang illmuwan asli Indonesia yang telah menaklukkan Harvard, cukup bagi saya untuk 'meminjam lidah' beliau sebagai dasar saya berpikir dan memilih. melalui Ibu Naim-lah saya merasa lebih 'mengenal' pasangan Prabowo-Hatta dan akhirnya mantap memilih mereka. terima kasih ya, Bu :)

saya dengan serius berdoa pada Allah, supaya Indonesia selalu diberi kesempatan untuk memperbaiki keadaan. salah satunya lewat momen Pilpres ini. rasanya, lebih nyaman berdoa memohon kebaikan dengan diiringi keyakinan bahwa pemimpin yang kita pilih juga memiliki kebaikan/keunggulan, dan bukan karena kandidat lawan lebih buruk dan lebih tidak mampu. keyakinan bahwa seseorang mampu (meski belum melakukan) itu berarti upaya untuk optimis, tapi menilai seseorang tidak mampu sebelum ia melakukan, kayaknya kok sama dengan negative thinking ya?

apapun itu, semoga semuanya baik-baik saja :)



salam #IndonesiaDamai! :)

Tidak ada komentar: